Oleh : Riza Multazam Luthfy

Dengan berbagai motif dan maksud, banyak orang tua yang memutuskan untuk “menitipkan” buah hatinya di madrasah. Mereka menaruh impian dan harapan yang besar kepada madrasah. Mereka percaya bahwa madrasah menjadi sarana terbaik dalam mewujudkan cita-cita anak. Mereka mengetahui bahwa kualitas madrasah semakin meningkat. Madrasah menjadi lembaga pendidikan Islam berwibawa seiring dengan gebrakan-gebrakan yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Dalam beberapa hal, kualitas madrasah sebanding bahkan mengungguli sekolah umum.

Atas dasar itulah, rendahnya kepercayaan publik terhadap madrasah tak bisa dibenarkan. Pandangan sinis terhadap madrasah kurang didukung dengan alasan dan data yang kuat. Stereotip negatif yang terlanjur dilekatkan pada madrasah tak cukup mengantongi bukti. Bagaimanapun, perkembangan zaman membuat pembedaan antara madrasah dan sekolah umum tak lagi relevan. Sebagian pihak yang awalnya menihilkan atau memandang rendah eksistensi madrasah sepatutnya mulai menengok sejumlah madrasah yang berkembang cukup pesat.

Apalagi, walaupun terkesan banyak membekali anak didik dengan pengetahuan agama, madrasah kini enggan dinilai kuno atau konservatif. Respons terhadap kemajuan zaman ditempuh dengan menyisakan alokasi waktu bagi penyampaian pengetahuan umum. Baik Raudaltul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), maupun Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), senantiasa menyuguhkan materi keislaman dan pengetahuan umum bagi anak didik secara seimbang.

Derasnya arus globalisasi menuntut lembaga pendidikan mampu menyeimbangkan porsi disalurkannya wawasan keagamaan dan umum. Keduanya menjadi bekal berharga bagi anak didik dalam menaklukkan masa depan. Kelebihan, keunikan, dan keistimewaan inilah yang dimiliki oleh madrasah. Tak heran apabila lulusan madrasah mampu bersaing, baik saat mereka duduk di bangku kuliah, ketika memasuki dunia kerja, maupun kala memegang amanat dalam instansi swasta atau jawatan pemerintahan. Jebolan madrasah terbukti berpresatasi, menunjukkan etos kerja yang tinggi, sekaligus berperangai luhur.

Catatan Historis

Bila ditelusuri, madrasah mempunyai jejak sejarah yang panjang. Setelah terbentuknya Kementerian Agama pada 3 Januari 1946, usaha yang lebih serius ditempuh oleh pemerintah dalam memantapkan keberadaan pendidikan Islam, temasuk madrasah. Sejak itulah mulai muncul perhatian publik terhadap keberadaan madrasah. Padahal, lahirnya madrasah bisa dirunut jauh sebelum itu. Sebenarnya cikal-bakal madrasah di Indonesia telah ditemukan sejak masa penjajahan. Perkembangan sekolah bentukan pemerintah Belanda yang diterima oleh rakyat Indonesia genap ditanggapi oleh para tokoh Islam secara serius.

Walaupun pihak penguasa memberi kesempatan yang luas kepada kaum pribumi untuk memperoleh pendidikan, tetapi dalam praktiknya masih terdapat kebijakan yang diskriminatif. Kesempatan belajar di bangku sekolah yang terbatas pada pendidikan dasar memantik para tokoh Islam untuk merancang metode, kurikulum, materi, dan struktruktur kelembagaan pendidikan Islam. Hal ini bertujuan agar institusi pendidikan Islam bisa diterima oleh masyarakat serta mampu bersaing dengan sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Sayangnya, oleh kaum penjajah, keberadaan lembaga tersebut kurang direspons.

Di Sumatera lahir antara lain Madrasah Adabiyah pada tahun 1908 yang dicetuskan di Padang oleh Syaikh Abdullah Ahmad. Pada tahun 1910 didirikan Madrasah Shcoel di Batusangkar oleh Syaikh M Taib Umar. Di Aceh digagas madrasah pertama bernama Saadah Adabiyah pada tahun 1930 oleh Tengku Daud Beureuh. Hal serupa juga dijumpai di Sumatera Timur, Tapanuli, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. (Manpan Drajat, 2018: 202-203).
Merujuk Jurnal Al-Afkar, organisasi-organisasi Islam yang aktif dalam aspek pendidikan menginisiasi berdirinya madrasah dan sekolah umum dengan beragam nama, jenis dan tingkatan, antara lain sebagai berikut:

  1. Muhammadiyyah (1912) membentuk Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin/Muallimat, Muballighin/Muballighat dan Madrasah Diniyah. 
  2. Al-Irsyad (1913) membentuk Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibdtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassis. 
  3. Pesatuan Tarbiyah Islamiyah (1928) membentuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Madrasah Awaliyah, Tsanawiyah dan Kuliyah Syariah. 
  4. Nahdhatul Ulama (1926) membentuk Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha dan Muallimin Ulya. 

Garda Terdepan

Setelah sekian lama berdiri dan berkiprah bagi pendidikan rakyat, madrasah di bawah naungan Kementerian Agama menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan generasi muda dari bermacam ancaman dan krisis multidimensi. Mengingat, sejak lama peran dan fungsi madrasah bagi kemajuan anak bangsa genap memperoleh pengakuan publik.

Degradasi moral yang antara lain ditandai dengan menjamurnya kasus kenakalan remaja, maraknya kasus korupsi, serta meningkatnya angka kriminalitas sudah pasti meniscayakan pendidikan karakter yang salah satunya digaungkan oleh madrasah. Bagaimanapun, besarnya jam pelajaran agama yang dialokasikan bagi anak didik merupakan ikhtiar membentuk insan beriman dan bertaqwa.

Di sinilah pengarusutamaan madrasah dalam menanamkan nilai-nilai mulia dalam diri manusia menemukan urgensinya. Bagaimanapun, lembaga pendidikan Islam, terutama madrasah, dinilai oleh sejumlah kalangan selaku medium memperbaiki moral manusia. Boleh dibilang, madrasah merupakan benteng terakhir peradaban bangsa yang mesti senantiasa diselamatkan dari berbagai serangan dan gempuran.

Keterangan: artikel ini telah terbit di Majalah Langitan edisi 84.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama