BIOGRAFI PENDIRI


CERITA SINGKAT TENTANG PENDIRI

YAYASAN PONDOK PESANTREN ROUDLOTUT THOLIBIN
K. HASANNADJI


Di tengah terik matahari yang semakin membara, pemuda itu terus menggayuh sepeda. Melewati ruas jalanan, tikungan tajam, gelapnya hutan, dan tingginya perbukitan yang membentang dari Balen, Babat, Jombang, dan berakhir di Kediri. Meski buliran bening bermunculan dan menetes di kain lusu bajunya, ia terus mengayuh dan menggayuh pedal sepeda pancalnya seolah ia ingin mengejar “surga” yang ada di depannya.
Yah demikianlah gambaran kenekatan pemuda bernama Hasannadji. Dengan tingginya himmah (keinginan) ia rela menempuh jarak yang jauh guna ngudi kaweruh (menimba ilmu) kepada Mbah Ihsan (KH. Ihsan) Jampes. Kiai kenamaan asal Kediri yang namanya melejit karya monumental yang berjudul Sirojut Tholibin. Sebuah kitab yang menjadi ”bacaan wajib” bagi pengagum ilmu tasawuf.
Menurut keterangan keluarga, kebiasaan bersepeda ini tidak hanya dilakukan saat mondok di Jampes saja, namun kebeberapa pesantren lainnya, seperti : Pondok Pesantren Abu Dzarrin Kendal Dander Bojonegoro dan Pondok Pesantren Tretek Pare Kediri.

Masa Kecil
Tanggal 30 Shofar 1344 H, yang bertepatan dengan 19 September 1925 M, merupakan hari yang menggembirakan bagi pasangan K. Muhammad Thoyyib dan Nyai Badari. Hari itu, buah hati mereka telah lahir dengan selamat dan tanpa cacat sedikitpun. Kelahiran si jabang bayi normal, layaknya kelahiran pada umumnya. Bayi yang akhirnya diberi nama Hasannadji itu merupakan putra keenam dari 10 bersaudara, yaitu : Sholihah, Bashiron, Hasanah, Dzurotun. Lathifah, Hasannadji, Hasannuri, Muslihun, Musriah, dan Mustaham.
Gilasan waktu terus berputar sejalan dengan pergerakan usia manusia yang terus bertambah. Tanpa terasa, tahun demi tahun telah dilalui Hasannadji bersama keluarga dalam suasana keakraban dan kekeluargaan. Hasannadji kecil belajar agama kepada orang tuanya sendiri dan di Madrasah Ibtidaiyah yang tak jauh dari rumahnya.

Habiskan Makanan
Menjelang usia muda, saat gejala keinginan menjadi sebuah tantang dan aneka keinginan menawarkan pencarian jati diri, Hasannadji matur (mengutarakan maksud) kepada kedua orang tuanya ingin mondok. Tapi sayang, kedua orang tuanya terlalu menyayangi sehingga iapun masih belum diperbolehkan.
Disinilah kesabarannya diuji. Ketika keinginan mondok sedang membumbung tinggi dan seluruh gairah dipusatkan pada pemahaman agama tapi justru dilarang. Ingin sekali pemuda itu memberontak dan tidak memperhatikan dawuh pelarangan, namun disatu sisi ia adalah anak yang seharusnya patuh kepada kedua orang tua . hal ini sebagaimana yang didawuh nabi ”ridhollah fi ridho walidain” keridhoan Allah itu tergantung keridhoan orang tua. Dan sebaliknya kemurkaan Allah juga tergantung kemurkaan orang tua.
Tapi Hasannadji adalah sosok yang cerdas. Ia terus berpikir agar keinginannya mondok bias disetujui kedua orang tuanya. Setelah lama berpikir, akhirnya ide pun muncul “jane kurang apik, tapi piye iki wes kapekso” (ide ini sebetulnya kurang baik, tapi bagaimana lagi, ini sudah terpaksa) katanya dalam hati.
Ide itu dilakukan dengan cara memakan sekenyang-kenyangnya hidangan yang disuguhkan ibunya. Awalnya hal itu dianggap biasa dan tidak diladeni meskipun ibunya memasak kembali untuk anak-anaknya yang lain karena dihabiskan Hasannadji.
Namun, kejadian itu berulang kali terjadi dan bahkan hamper setiap masak, jatah makan saudara-saudaranya sering dihabiskan. Melihat fenomena itu, ibunya pun semakin jengkel dan marah. Ujung-ujungnya, saat mengutarakan ulang niatnya untuk mondok, akhirnya Hasannadjipun diperbolehkan untuk mondok.
Konon, menurut santrinya Mbah Hasannadji, memang beliau punya do’a (baca : wirid) tertentu untuk dapat memakan yang banyak dan baik dengan cara memindah keperut orang lain atau membuang kelaut. Sebuah kisah mengatakan bahwa Mbah Hasannadji pernah makan nasi hamper satu ngaron tempat nasi yang berjenis gerabah.

Santri Mandiri
Betapa senangnya hati Hasannadji saat kedua bibir ayahnya terbuka dan kembali mengatup dengan mengeluarkan izin mondok bagi dirinya. Kesempatan yang tidak ternilai harganya itu digunakan betul olehnya untuk memahami masalah agama. Dari waktu kewaktu, tidak jemu-jemu ia buka kitab kuning, terkadang dmaknai dengan arti jawa dibaca dikasih keterangan dan lain sebagainya.
Karena mondok merupakan dorongan keras dirinya sendiri, maka dengan segala kekuatan yang ada ia berusaha hidup sesederhana mungkin. Tak hanya itu, iapun rela menjadi buruh nulis kitab teman-temanya. Kebiasaan ini dimulai saat mondok di Pondok pesantren Abu Dzarrrin sampai boyong dari Pondok Pesantren Jampes.
Sebelum berhenti menulis, pemuda berkulit sawo itu sudah nyambi berdagang di Pondok. Ia membuka kios dengan beberapa teman ngajinya. Dari usaha itu, akhirnya selama mondok limabelas tahun (mulai tahun 1942 M – 1957 M) tak pernah dibekali orang tuanya, kecuali hanya sekali dan itu berupa beras beberapa kilo.

Patekah Lebih Seminggu
Ibarat toko habis kolaan (belanja) berarti menjual barang dagangan. Begitulah Mbah Hasannadji yang setelah bertahun-tahun mencari ilmu berarti saatnya menyebarkan ilmu yang dimiliki. Ia memilih berdakwa di Desa Balenrejo Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro.
Dalam bergaul dan serawung dengan masyarakat sekitar Murid Mbah Ihsan itu menampakkan sikap yang penuh kasih dan lemah lembut. Tidak pernah dirinya merasa menjadi tokoh yang harus dihormati. Dengan sikap inilah, kemudian banyak masyarakat yang akhirnya ’kepincut’ untuk mengikuti pengajian di musholla depan rumahnya.
Tapi, keadaan akan berubah seratus delapan puluh derajat saat pengajian dimulai. Ia dengan tegas menyalahkan santri yang keliru melafalkan Ayat ketika ngaji Al-Qur’an. Bahkan tak segan-segan untuk membentak santri jika satu dua kali disalahkan namun masih belum benar. “Wah Mbah Yai iku keras tenan nek mulang. Ojo maneh teguran, mbentak wae wes dadi kebiasaaan. Nek ngaji adile ra kaprah, patekah wae iso-iso luwih seminggu.” (Wah, Mbah Yai itu keras betul dalam mengajar. Jangankan teguran, membentak saja sudah jadi kebiasaan. Saat mengaji adilnya bukan main, Surat Al Fatihah saja bisa lebih dari seminggu) kenang salah satu santrinya.

Mendirikan Lembaga Formal
Dengan penuh kesabaran, awalnya Kiai Hasannadji membimbing keluarga dan kerabat dekan. Namun setelah namanya semakin dikenal khalayak luas, beliau mendirikan Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin pada tahun 1964 M.
Duabelas tahun kemudian, teoatnya tanggal 15 Januari 1976 M Kiai Hasannadji bersama tokoh setempat mendirikan Madrasah Tsanawiyah Islamiyah Balen. Demikian lembaga ini semakin berkembang dan pada tanggal 24 Desember 1994 M. Berubah nama menjadi Yayasan Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin. Hingga kini, dari tingkatan RA sampai SLTA mempunyai seribuan pelajar.

Ojo Ninggal Jama’ah
Salah satu yang menonjol dari ulama Ahlussunah adalah memperbanyak amalan. Mereka menganggap apa artinya ilmu bila tidak diamalkan, sehingga ada ungkapan ”Tidak dikatakan ilmu bila tidak diamalkan” (Laisal ilmu illa  bil amal). Berangkat dari sini, Mbah Hasannadji memang selalu menekankan pentingnya pengamalan agama. Salah satu pesan yang sering disampaikan adalah tentang jama’ah, beliau dawuh “Ojo sampek awakmu lan keturunanmu ninggal jama’ah” Jangan sampai kamu dan keturunannu meninggalkan jamah’ah.


Beralas Tikar
Kesederhanaan yang dipraktekkan saat mondok terbawa pula setelah boyong. Sehari-hari ia berpakaian layaknya orang desa lainnya. Tidurnya hanya beralaskan tikar. Kebiasaan ini hingga ajal menjemput. Menjelang wafat dalam keadaan sakit keluarga menyediakan kasur baginya. Namun kasur itu tak pernah dijamah.
Demikianlah Mbah Hasannadji yang memang menjadi hidup sebagai Mazroatul Akhiroh (ladang beramal untuk akhirat) bukan untuk berfoya atau berenak-enakan. Kata penyair ”Hidup adalah perasan keringat dalam menegakkan pilar-pilar kalimah Tuhan. Terus bergerak diantara usia yang tersisa hingga hidung mencium bau kasturi, mata melihar bidadari, lidah menyesap telaga kautsar, dan kaki menginjak permadai surga”

Post a Comment